tresfrau

MGMP TIK untuk SMAN 3 Kota Tangerang Selatan Banten

Thursday, October 16, 2014

TERJEMAH BATU TULIS CIARUTEUN YANG BENAR


dari wikipedia :
Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari tiga baris dan pada bagian bawah tulisan terdapat pahatan gambar umbi dan sulur-suluran (pilin), sepasang telapak kaki dan laba-laba.

Teks:
vikkrantasyavanipat eh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam
Terjemahan:
“inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawamman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.

Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut). Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat

Penemuan

Prasasti Ciaruteun di Museum Sejarah Jakarta.
Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Weten-schappen (sekarang Museum Nasional) pada tahun 1863. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula. Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir.
[sunting]Bahan

Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu alam.

Lokasi

Prasasti Ciaruteun terletak di desa Ciaruteun Hilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor tepatnya pada koordinat 0°7’2,76” BB (dari Jakarta) dan 6°38’09”.
Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh tiga sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Ciampéa (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang).
Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya razamandala (bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara".



Prasasti Ciaruteun berupa batu gelondong besar berukuran variasi panjang lebar tinggi sekitar 150 cm. Beratnya mencapai 8 ton. Batu Prasasti Ciaruteun bergores aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari empat baris; bunyinya:

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahan menurut Vogel:

Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Dapat diartikan bahwa text dalam Prasasti Ciaruteun menyatakan adanya seorang raja bernama Purnawarman dan menguasai kerajaan bernama Tarumanagara.

Selain itu, ada pula cerukan bergambar sepasang “pandatala” atau jejak kaki dan pada pahatan bergambar sulur-sulur, serta pahatan gambar laba-laba.

SETELAH SAYA PELAJARI DAN MEMBERIKAN PANDANGAN BARU TENTANG TERJEMAHAN ISI PRASASTI TERSEBUT ADALAH :
"PRABU ANUPRAJANATA PERNAH BERKUNJUNG DI SINI MENGGUNAKAN GAJAH DATANG DAN HENDAK MEMBABAT HUTAN BELANTARA UNTUK DIJADIKAN SEBUAH KOTA/KERAJAAN"

ITU BUKAN GAMABAR LABA-LABA, TETAPI SIMBOL MATAHARI/SRANGENGE/API AGUNG YANG DI BAWAHNYA ADALAH 4 DEWA : WISNU, GANESHA, BRAHMA DAN SISWA

WAKTUNYA SEKITAR TAHUN 1428 MASEHI SAAT ITU PULAU SUMATERA MASIH BERSATU DENGAN PULAU JAWA.

dongeng jaman  pada jaman pertama kali bangsa Himalaya datang ke tanah Jawa
sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bangsa kita ini adalah campuran penduduk pribumi asli sini dengan keturunan Pandawa pasca "perang barata yuda" yaitu keturuan Arjuna, Abimanyu, Parikesit dst.

Pada gelombang pertama, yang datang dari Himalaya itu sekitar 20 ribu orang yang selamat hanya 9 orang bisa bertahan hidup sampai di tanah jawa, dan yang 9 orang itu hingga saat ini hanya tinggal 2 orang.
Yang satu berlogat Jawa Timur yang satunya lagi berlogat Jawa Barat Kuno. (namanya .../dirahasiakan, penulis tidak berkenan menceritakannya)

Menurut cerita dari salah satu dari kedua orang tersebut, ketika pertama kali datang ke tanah Jawa ini bersandar di daerang Cianjur, sekarang, tepatnya di gunung Padang sebagaimana kita ketahui bersama gunung Padang adalah peradaban tertua yang ditemukan 11 ribu tahun sebelum mashesi, sedangkan peradaban tertua sebelumnya adalah kota mesir 4 ribu tahun sebelum mashehi, kini selisih 7 ribu tahun lebih tua.

Jaman dahulu di gunung Padang itu ada sungai besar masuk kapal, mungkin sekarang sungai ciaruteun, sehingga kapal pertama dari Himalaya itu bersandar di Cianjur, dan mengapa sampai sekarang angka 7 di gunung Padang dijadikan patokan seolah angka keramat, sebab ketika itu ada pancuran sebanyak 7, dan sejak itu oleh penduduk yang datang itu dijadikan patokan, sampai saat ini pun angka 7 masih dijadikan angka patokan.

Hutan tropis ini sangat ganas, saking tidak atau belum dijamah oleh manusia, maka daun-daun hutun itu berwarna hitam, dan binatang yang buas-buas, bahkan kelinci pun sebesar hampir mendekati kambing besarnya.

dari yang 20 ribu itu tinggal 9 ribu orang yang sampai di tanah Jawa ini, lalu karena ganasnya alam, maka banyak yang tidak bisa bertahan hidup, ada yang digigit nyamuk, ada yang dimakan ular raksasa, ada yang dimakan harimau, bahkan penyakit.

Dari gungung Padang sebagian ada yang melakukan perjalanan ke arah Timur yaitu tepatnya sampai di Kediri, jalan kaki, bahkan di daerah Solo bertemu dengan manusia penduduk asli, yang disebut Homo Soloensis, homo sapien tetapi masih menyerupai sedikt kera, dan mereka terjadi akulturasi budaya, bangsa Himalaya itu memancing ikan dengan kesaktiannya seperti menunjuk ikan maka ikan itu datang dengan sendirinya, bahkan membakar ikan dari tangannya bisa keluar api. Sedangkan bangsa asli menangkap ikan dengan bambu, dan mereka bukan mengandalkan kesaktian, tetapi mengandalkan kekuatan fisik.
Sungai di Solo juga sangat besar seperti laut, sekarang sudah sempit.
 itu saja dulu ya ceritanya nanti dilanjut,
ini adalah hasil dialog dengan pelaku sejarahnay lagsung



0 Comments:

Post a Comment

<< Home